Seorang ayah kandung melakukan kekerasan seksual pada anak perempuannya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur selama empat tahun. Kejadian tersebut berlangsung sejak 2019 dan baru diketahui saat korban kabur dan mengadu pada perangkat desa pada 11 Februari 2023.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar, menyayangkan terjadinya TPKS berupa persetubuhan terhadap korban anak perempuan oleh ayah kandungnya itu.
“Terlebih, tindakan asusila tersebut telah berlangsung selama empat tahun dan ditemukan adanya indikasi pengancaman yang dilakukan terduga pelaku terhadap korban untuk tidak memberitahukan hal yang menimpa korban kepada orang lain,” kata Nahar dalam keterangannya, Sabtu (6/5/2023).
1. Hilangnya figur ibu untuk melindungi korban

Nahar menjelaskan, adanya berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan tindak kekerasan seksual itu terjadi pada anak kandungnya.
Selain adanya ketimpangan relasi kuasa antara terduga pelaku dan korban, ada sumber stressor yang berasal dari kematian istri terduga pelaku. Hal itu diduga membuatnya kehilangan figur untuk menyalurkan kebutuhan secara seksual. Korban juga kehilangan figur ibu yang kerap memberikan perlindungan bagi korban.
2. Keterbatasan ruang privasi, tumbuhkan potensi tindakan pelaku
Tidak hanya itu, kondisi tempat tinggal korban yang hanya tinggal berdua dengan ayah kandungnya di sebuah kamar kost, jadi faktor pemicu tambahan yang berasal dari keterbatasan ruang privasi antara anak remaja dengan orang tuanya.
“Karena faktor-faktor itulah, maka saat ini korban ditempatkan di lokasi terpisah dengan pelaku, mengingat juga keluarga terdekat korban nampak keberatan mengasuh korban. Hal tersebut sangat disayangkan karena keluarga berperan utama dalam perlindungan anak,” kata Nahar.
“Namun, penempatan korban di tempat khusus dan terpisah ini diharapkan dapat membantu pemulihan kondisi korban, karena lingkungan yang suportif dapat menjadi salah satu faktor pendukung untuk mempersiapkan kondisi anak korban kembali berfungsi secara optimal di lingkungan sosialnya,” lanjut dia.
3. Proses assessment psikologis sudah dilakukan
Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sidoarjo telah bergerak dan mendampingi korban selama proses assessment psikologis berlangsung. Kemudian dilakukan pendampingan hukum dan assessment psikologis korban.
Dari hasil tersebut, korban tampak tidak menunjukkan trauma akibat peristiwa yang menimpanya. Korban juga telah ditempatkan terpisah dengan terduga pelaku.
“Meskipun demikian, kami akan terus melakukan segala bentuk pendampingan yang sekiranya dibutuhkan oleh korban dan diperlukan asesmen lebih lanjut untuk mengetahui kondisi korban serta meminimalisasi munculnya dampak psikologis jangka menengah dan panjang, seperti munculnya rasa cemas, depresi, pemikiran negatif, ataupun perasaan rendah diri,” kata Nahar.